November 14, 2025

Sorotan Publik dari Rahmat Wilantara: Jangan Sampai KDMP Jadi ‘BUMDes Berbaju Koperasi’

JAKARTA, [, Minggu ,9 November] – Program unggulan pemerintah, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), kembali menjadi sorotan publik setelah isu penolakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur skema pendanaannya beredar. Meskipun regulasi pendukung, seperti PMK Nomor 49 Tahun 2025 dan Permendesa PDT Nomor 10 Tahun 2025, telah ditetapkan, mekanisme penggunaan Dana Desa sebagai jaminan kredit bank menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Pengamat Publik dan Politik, Rahmat Wilantara, angkat bicara menanggapi polemik ini, memperingatkan bahwa program strategis ini berpotensi gagal di implementasi lapangan jika isu-isu fundamental, terutama terkait regulasi dan prinsip koperasi, tidak diselesaikan.

Isu PMK dan Jeratan Dana Desa
Kekhawatiran publik muncul setelah adanya keraguan bank dalam menyalurkan kredit hingga Rp3 Miliar kepada KDMP. Pemerintah kemudian meresponsnya dengan kebijakan yang membolehkan Dana Desa—maksimal 30% dari pagu per tahun—digunakan sebagai dukungan pengembalian pinjaman (jaminan) jika KDMP mengalami gagal bayar.

“Kebijakan menjadikan Dana Desa sebagai ‘tameng’ pengembalian pinjaman ini menimbulkan pertanyaan besar,” tegas Rahmat Wilantara. ”

Dalam sudut pandang hukum, ini berpotensi melanggar Undang-Undang Desa dan prinsip otonomi desa. Bank BUMN sejatinya harus menanggung risiko bisnis, bukan malah ‘ditambal’ dengan uang rakyat di desa. Ini menciptakan kerentanan fiskal di tingkat desa.”

Wilantara menyoroti substansi lain dalam regulasi terbaru yang dinilai melanggar prinsip dasar koperasi, yaitu kewajiban KDMP untuk menyerahkan minimal 20% keuntungan bersih (SHU) kepada Pemerintah Desa.

“KDMP adalah koperasi primer, anggotanya adalah orang perorangan, yaitu warga desa. Kekuasaan tertinggi ada di Rapat Anggota. Namun, dengan dipaksa menyerahkan 20% keuntungan ke Pemerintah Desa, KDMP seolah-olah dijadikan ‘Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang Berbaju Koperasi’,” jelasnya.

Menurut Wilantara, pelanggaran prinsip kedaulatan anggota ini akan memicu konflik kepentingan di lapangan:

* Potensi Turunnya Minat Anggota: Warga akan merasa koperasi hanya menjadi mesin pencetak uang bagi APBDes, bukan wadah perjuangan ekonomi mereka.
* Ketidakpastian Hukum: Status kelembagaan KDMP menjadi abu-abu, melanggar semangat UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Pengamat yang gencar mengawal kebijakan ini mendesak agar pemerintah dan pemangku kepentingan segera melakukan dialog terbuka sebelum implementasi kredit besar-besaran dijalankan.
“Saya mengajak semua pihak untuk duduk bersama dulu, mulai dari aktivis, pemerintah, hingga perwakilan koperasi. Ada isu teknis serius di lapangan, seperti kendala rekening bank, kejelasan kemitraan dengan ID Food, dan keharusan bagi ketua koperasi untuk lolos pengecekan SLIK OJK,” kata Wilantara.

Ia menekankan bahwa jika masalah teknis dan substansial—terutama terkait integritas Dana Desa dan prinsip koperasi—tidak diselesaikan, maka target ambisius pemerintah untuk menciptakan KDMP modern berpotensi menjadi proyek berisiko tinggi yang hanya akan menyisakan utang dan konflik di tingkat desa.

“Program KDMP harus dilanjutkan karena tujuannya baik, tetapi harus dengan regulasi yang benar dan berpihak pada asas koperasi, bukan dengan memaksakan kehendak yang menyalahi aturan hukum dan prinsip kelembagaan,” tutup Rahmat Wilantara.