November 23, 2025

OLEH: ALI PUDI

Aktivis 98

Lensa-informasi.com-Di tengah tekanan ekonomi yang semakin menghimpit dan kondisi fiskal daerah yang melemah, Pemerintah Kabupaten Banyuasin justru mengambil kebijakan yang memicu kegaduhan nasional. Dua langkah kontroversial—pengangkatan 24 staf ahli oleh Bupati Banyuasin Dr. H. Askolani dan rehab rumah dinas Wakil Bupati senilai miliaran rupiah, meski bangunan tersebut masih sangat layak—menunjukkan jurang yang lebar antara amanat publik dan keputusan elit daerah.

Langkah-langkah ini dinilai publik bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga mengabaikan tiga pedoman penting negara:

  1. Instruksi Presiden tentang efisiensi belanja daerah,
  2. Surat edaran BKN yang melarang pengangkatan staf ahli/staf khusus,
  3. Arah kebijakan Menteri Keuangan agar anggaran daerah diprioritaskan untuk pelayanan publik dan kebutuhan dasar rakyat.

24 Staf Ahli: Pemborosan yang Sulit Dijelaskan

Di saat banyak pemerintah daerah melakukan efisiensi jabatan non-esensial, Banyuasin justru memperbanyak struktur staf ahli hingga mencapai 24 orang. Kebijakan ini dipertanyakan publik karena:

  • kondisi APBD sedang tertekan,
  • defisit membesar,
  • dan pemerintah pusat menyerukan penghematan anggaran pegawai.

BKN secara terang meminta daerah tidak mengangkat staf ahli atau staf khusus karena dianggap tidak urgen dalam situasi fiskal yang ketat. Namun Banyuasin mengambil langkah yang bertolak belakang. Publik pun wajar bertanya:

Apakah ini kebijakan berbasis kepentingan daerah, atau kepentingan politik?

Rehab Rumah Dinas Wabup: Dana Miliaran untuk Bangunan yang Masih Sangat Layak

Kontroversi lainnya adalah keputusan merehab rumah dinas Wakil Bupati Banyuasin dengan biaya miliaran rupiah. Yang membuat publik kian geleng kepala: rumdis tersebut masih sangat layak digunakan.

Ketika Menteri Keuangan menegaskan bahwa anggaran harus diarahkan pada prioritas utama—pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar—Pemkab Banyuasin justru memprioritaskan kenyamanan pejabat.

Dalam situasi rakyat masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok, layanan publik yang belum optimal, dan banyak infrastruktur desa yang tertinggal, rehab rumdis mewah terasa sebagai tindakan tidak peka dan bertabrakan dengan nalar publik.

Krisis Bukan Dijadikan Alarm, Tapi Diabaikan

Di banyak daerah, krisis anggaran menjadi momentum untuk menahan diri. Namun Banyuasin justru mengambil jalan lain: memperlebar belanja yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.

Pola yang muncul jelas:

  • Instruksi Presiden diabaikan,
  • pedoman BKN dilawan,
  • kebijakan Menteri Keuangan tidak diindahkan,
  • suara publik diabaikan.

Ini bukan sekadar persoalan teknis anggaran. Ini persoalan kepekaan dan integritas kepemimpinan.

Rakyat Diminta Berhemat, Pejabat Justru Menambah Fasilitas

Saat masyarakat berkorban dan mengencangkan ikat pinggang, pemerintah daerah justru memperluas fasilitas dan kenyamanan elit. Legitimasi moral sebuah kebijakan runtuh ketika pejabat menikmati kemewahan, sementara rakyat menanggung konsekuensinya.

Rekomendasi Moral untuk Pemimpin Banyuasin

Untuk mengembalikan kepercayaan publik, langkah-langkah nyata harus dilakukan:

  1. Evaluasi dan batalkan pengangkatan staf ahli yang tidak mendesak.
  2. Patuh pada Instruksi Presiden, pedoman BKN, dan arahan Menteri Keuangan.
  3. Prioritaskan sektor yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat.

Banyuasin tidak membutuhkan staf ahli tambahan atau rehabilitasi fasilitas mewah.
Banyuasin membutuhkan pemimpin yang mau mendengar, patuh pada instruksi negara, dan berdiri bersama rakyatnya.

Selama itu belum terjadi, narasi publik akan tetap sama:
anggaran defisit, kebijakan menyimpang, rakyat menanggung. (Red)


Palembang, 23 November 2025
ALI PUDI
Aktivis 98