Lensa-informasi.com-Ketika Presiden RI berulang kali menegaskan pentingnya efisiensi anggaran, pemangkasan pos-pos tidak prioritas, serta moratorium pengangkatan jabatan-jabatan non-esensial, publik Banyuasin justru dikejutkan oleh keputusan Bupati Banyuasin Dr. H. Askolani,S.H.,M.H yang mengangkat 24 Staf Ahli sekaligus. Sebuah angka yang bagi publik lebih mirip rombongan daripada kebutuhan. (23/11/2025).

Keputusan ini berlawanan dengan arah kebijakan nasional, juga sangat janggal dan menampar akal sehat administrasi modern yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas. Bagaimana mungkin ketika pemerintah pusat sedang memangkas pemborosan, Banyuasin justru menambah lapisan birokrasi baru yang tak jelas urgensinya?
Memang di atas kertas, keberadaan tenaga ahli dimaksudkan untuk memperkuat perumusan kebijakan. Namun dalam praktik politik daerah, jumlah yang terlalu besar sering kali menimbulkan pertanyaan publik.
Benarkah semua posisi itu diperlukan? Atau justru sekadar mempertebal lapisan birokrasi dan membebani APBD?
*Ketika Instruksi Presiden Diabaikan*
Presiden secara terang-terangan menginstruksikan kepala daerah untuk:
1. Tidak menambah staf ahli atau jabatan tidak esensial,
2. Melakukan efisiensi anggaran secara menyeluruh,
3. Mengalihkan dana ke sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, penanganan kemiskinan, dan infrastruktur dasar.
Justru di tengah seruan efisiensi itulah, keputusan mengangkat 24 Staf Ahli menjadi ironi. Banyuasin bukan daerah dengan problem kecil: dari infrastruktur desa, akses kesehatan, hingga pengentasan kemiskinan masih membutuhkan anggaran besar dan fokus kerja nyata, karena itu, publik wajar bertanya. Mengapa menambah 24 Staf Ahli justru dianggap prioritas? Urgensi apa yang membuat keputusan ini harus diambil saat arahan Presiden jelas-jelas meminta penghematan?
*Dampak pada APBD dan Persepsi Publik*
Pengangkatan Staf ahli bukan hanya soal nama dan jabatan, tetapi juga: Honorarium, Fasilitas, Beban administrasi dan operasional.
Dalam banyak kasus di daerah lain, staf ahli tak jarang menjadi pos pemborosan anggaran yang tidak berbanding lurus dengan kinerja.
Langkah ini mudah dibaca sebagai inkonsistensi kebijakan, terutama jika pemerintah pusat justru sedang mengetatkan sabuk fiskal. Kepercayaan publik bisa terkikis bila keputusan strategis dianggap tidak berpihak pada efisiensi dan kepentingan rakyat.
*Perlu Transparansi dan Penjelasan Publik*
Agar tidak menjadi bola liar dan spekulasi politik, Pemerintah Kabupaten Banyuasin perlu menjelaskan beberapa hal:
Apa dasar kebutuhan 24 Tenaga Ahli tersebut?
Apa indikator kinerjanya?
Berapa total beban APBD yang timbul?
Mengapa kebijakan ini tetap diambil meski bertentangan dengan Instruksi Presiden?
Transparansi adalah jalan terbaik untuk meredam kecurigaan bahwa jabatan-jabatan ini hanya menjadi “kotak-kotak politik” atau akomodasi kepentingan tertentu.
Penulis
ALI PUDI
Aktivis 98,Jurnalis,Analis Ekonomi & Politik







