Oktober 30, 2025

Implementasi Mandul Regulasi Koperasi: Kritikan Keras dari Pengamat Publik

Lahat, 30 Oktober 2025– Landasan hukum yang seharusnya memberikan perlindungan dan kemudahan bagi koperasi di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, dinilai belum efektif dalam implementasi di lapangan.

Pengamat publik dari NGO Wilantara, yang mengkritik situasi ini, menyebut bahwa proses di lapangan terasa seperti dipaksakan (Kdmp seperti di paksakan) dan terhambat oleh masalah kelembagaan dan budaya birokrasi.
Dasar Hukum Kuat, Implementasi Tersendat

Secara yuridis, payung hukum koperasi sudah sangat jelas dan komprehensif. UU No. 25 Tahun 1992 menjadi dasar utama pembentukan, fungsi, dan prinsip koperasi.

Sementara itu, PP No. 7 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, bertujuan memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, termasuk afirmasi kebijakan untuk koperasi sektor tertentu.

Namun, menurut pengamat publik dari NGO Wilantara, pelaksanaan di tingkat operasional mengalami hambatan serius. Perlindungan yuridis yang seharusnya dinikmati koperasi sering kali tersendat karena apa yang disebutnya sebagai fragmentasi kelembagaan dan budaya hukum birokratis.

Pengamat dari NGO Wilantara menyoroti bagaimana tumpang tindih kewenangan atau kurangnya koordinasi antarlembaga terkait koperasi menjadi salah satu penyebab utama. Fragmentasi ini membuat proses perizinan, pendanaan, dan pengawasan menjadi rumit dan memakan waktu, alih-alih memberikan kemudahan.

Selain itu, budaya hukum birokratis yang masih kental—yaitu proses yang lambat, berbelit-belit, dan kaku—menghambat semangat pemberdayaan yang dibawa oleh PP No. 7 Tahun 2021. Kritikus melihat adanya kesulitan bagi koperasi di akar rumput untuk benar-benar merasakan manfaat dari regulasi yang telah disahkan.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa implementasi di lapangan “seperti dipaksakan” tanpa memperhatikan kondisi riil dan kesiapan ekosistem kelembagaan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan bukan hanya sosialisasi regulasi secara masif, tetapi juga komitmen politik yang kuat untuk merampingkan alur birokrasi dan menghilangkan fragmentasi kelembagaan. Perubahan yang paling mendasar adalah mengubah budaya hukum birokratis menjadi budaya pelayanan publik yang responsif, transparan, dan berpihak pada pertumbuhan koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat.

Jika implementasi terus tersendat, potensi koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong terancam tidak akan pernah terwujud secara maksimal, terlepas dari seberapa baik pun dasar hukum yang telah disiapkan.(Tutupnya).