Lensa-informasi.com, Banyuasin -Persoalan PT Melanial di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan,bukan lagi sekadar persoalan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Bukan lagi sekadar persoalan plasma. Bukan lagi sekadar persoalan administrasi izin.
Ini telah berubah menjadi barometer moral dan politik: apakah negara masih sanggup melindungi rakyatnya, atau negara telah kehilangan keberanian di hadapan kekuasaan korporasi.
Bagaimana mungkin, di sebuah negara yang menyebut dirinya sebagai negara hukum, sebuah perusahaan yang diduga kuat masa HGU-nya telah berakhir sejak 2023, masih beroperasi dengan bebas hingga akhir 2025?
Apakah itu bukan pertanyaan yang seharusnya mengguncang DPR, menggugah pemerintah daerah, dan mengetuk nurani aparat penegak hukum?
Namun apa yang terjadi?
Negara seperti kehilangan daya. Aparat kehilangan suara.
Dan di tengah diamnya negara, rakyat menjadi saksi bagaimana hukum dapat dipermainkan oleh mereka yang berkepentingan.
Aksi Ribuan Massa: Ketika Rakyat Mengambil Alih Perannya karena Negara Tidak Hadir
Aksi ribuan massa Masyarakat Desa Talang Kemang Bersatu di gedung DPRD Sumatera Selatan adalah isyarat politik yang tidak boleh dipandang enteng.
Rakyat telah berbicara dengan volume yang paling tinggi.
Rakyat telah turun langsung, meninggalkan ladang dan pekerjaan mereka untuk menyatakan:
“Kami muak dengan ketidakpastian. Kami muak dengan ketidakadilan.”
Namun bagaimana respon negara?
Kunjungan DPRD Provinsi dan Kabupaten ke PT Melanial tidak menghasilkan perubahan.
Tinjauan dilakukan, foto diambil, laporan dibuat — tetapi nasib masyarakat tetap sama.
HGU diduga habis, tapi perusahaan tetap beroperasi.
Plasma diwajibkan oleh undang-undang, tapi tidak pernah diberikan.
Rakyat dirugikan, tapi negara tidak bergerak.
Inilah tragedi politik yang sesungguhnya.
Hak Plasma Adalah Kewajiban Undang-Undang — Bukan Sekadar Kesepakatan
Perlu ditegaskan secara politis dan hukum:
Hak plasma adalah kewajiban yang diatur oleh undang-undang.
Bukan bonus.
Bukan hadiah.
Bukan kebijakan suka-suka perusahaan.
Undang-Undang Perkebunan dan peraturan turunannya secara jelas mewajibkan perusahaan perkebunan untuk menyediakan kebun plasma bagi masyarakat sekitar.
Jadi ketika PT Melanial tidak pernah merealisasikan plasma, itu bukan sekadar kegagalan moral —
itu adalah dugaan pelanggaran hukum yang mestinya membuat negara turun tangan.
Tapi apa yang terjadi?
Negara diam.
Aparat tak bergerak.
Dan rakyat dibiarkan menanggung kerugian dari kewajiban hukum yang tidak pernah dijalankan.
Laporan ke Presiden, Kapolri, Kejaksaan Agung, dan KPK: Negara Tidak Bisa Mengatakan “Tidak Tahu”
Perwakilan masyarakat, sudah melaporkan persoalan ini ke lembaga tertinggi Republik Indonesia:
• Presiden
• Kapolri
• Kejaksaan Agung
• KPK
Ketika laporan sudah masuk ke semua pintu kekuasaan, negara tidak bisa mengelak.
Tidak bisa berkata “ini persoalan kecil”.
Tidak bisa pura-pura tidak tahu.
Jika negara tetap tidak bergerak, maka kesimpulannya sederhana, keras, dan harus disampaikan secara politis:
ada sesuatu yang lebih kuat daripada hukum di balik persoalan ini.
Dan itulah yang harus ditelusuri, itulah yang harus dibongkar, itulah yang harus diusut demi menjaga marwah negara dan integritas hukum.
Pertanyaan Politik yang Tak Bisa Lagi Ditutup-Tutupi
Ketika sebuah perusahaan diduga beroperasi tanpa HGU yang berlaku, ketika kewajiban plasma yang diatur undang-undang tidak dijalankan, ketika rakyat berulang kali melakukan aksi besar namun negara tetap pasif, maka pertanyaan politis berikut harus diucapkan dengan lantang:
Siapa sebenarnya yang dilindungi oleh negara?
Rakyat atau korporasi?
Di mana pemerintah daerah?
Di mana aparat penegak hukum?
Di mana institusi yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi?
Jika mereka tidak hadir untuk rakyat, lalu untuk siapa mereka bekerja?
Ketika Negara Diam, Rakyat Menjadi Penegak Moral Tertinggi
Sebagai Sekjen Masyarakat Talang Kemang Bersatu, saya menyatakan dengan tegas:
Perjuangan rakyat tidak akan pernah surut hanya karena negara lambat atau diam.
Kami sudah berada di titik di mana perjuangan ini bukan lagi soal sengketa, tetapi soal harga diri masyarakat.
Dan kepada negara, kami titipkan satu pesan politik yang tidak bisa diabaikan:
“Kekuasaan boleh membisu, aparat boleh menutup mata, tetapi Tuhan tidak pernah membiarkan kezaliman menang.
Dalam pertarungan antara rakyat dan kekuasaan yang abai, Tuhan selalu berpihak kepada mereka yang memperjuangkan kebenaran.”
Jika negara gagal menegakkan keadilan, maka rakyat akan melanjutkannya.
Dan jika semua jalur hukum yang ditempuh rakyat tetap tidak ditindaklanjuti, maka percayalah:
Tuhan menjadi saksi politik tertinggi bahwa negara telah gagal menjalankan amanahnya.
Dan di dalam sejarah, rakyat bersama Tuhan selalu menang atas kekuasaan yang lalai.”
Penutup yang Tak Bisa Disangkal
Persoalan PT Melanial bukan hanya soal izin.
Bukan hanya soal plasma.
Ini adalah soal keberanian negara menghadapi kepentingan besar.
Ini adalah soal apakah hukum masih punya martabat di Indonesia.
Dan ini adalah soal apakah rakyat Banyuasin masih dianggap sebagai warga negara yang berhak atas keadilan.
Kami, masyarakat Desa Talang Kemang Bersama masyarakat sekitarnya berdiri tidak untuk kepentingan kelompok, tetapi untuk menegakkan keadilan yang telah terlalu lama diabaikan.
Perjuangan ini belum selesai.
Dan perjuangan ini tidak akan pernah kami hentikan.
Ditulis: Supeno, aktivis Sumatera Selatan Dan Sekjend Forum Masyarakat Desa Talang Kemang Bersatu







