
Lensa-Informasi.com, Palembang -Besarnya Dana Desa Menyebabkan Para Oknum Kepala Desa Kaya Mendadak, Tak Jarang Berakhir Di Hotel Prodeo.
Adapun modus korupsi dana desa yang seringkali ditemukan adalah penggelembungan anggaran, kegiatan atau proyek fiktif, laporan fiktif, penggelapan, dan penyalahgunaan anggaran.(14/01/2023)

indikasi korupsi dapat terlihat Juga dari temuan temuan LSM Lapisan Pemantau Situasi (Lapsi) di berapa desa secara acak sebagai berikut :
1. Diduga penerima BLT DD tidak tepat sasaran atau tidak sesuai kriteria (data penerima tidak sesuai juknis dan diduga BLT DD telah dipangkas.
2. Dana pengembangan sarana produktif desa dan kegiatan ekonomi produktif yang diperlukan desa sesuai hasil Musdes diduga kuat rab di atas harga pasar.
3.Dana penghasilan tetap dan tunjangan pemerintah desa untuk insentif KAUR Umum, KAUR Pemerintah dan KAUR Pembangunan diduga terjadi penggelembungan (Mark Up) pada pembayaran honor perangkat desa.
4.Dana tambahan penghasilan tunjangan BPD, lembaga adat, tunjangan LPMD, Tunjangan RW, Tunjangan Hansip, Insentif RT, untuk insentif tunjangan ketua, wakil ketua dan anggota diduga tidak terealisasi sepenuhnya /Mark-up.
5.Dana kegiatan TPPKK, bantuan kegiatan keagamaan, honor PTPKD, bantuan kesejahteraan guru PAUD diduga tidak terealisasi sepenuhnya/mark-up .
6.Pengadaan ATK pengadaan pakaian dinas dan atribut, pengadaan bibit pertanian dan perikanan, penguatan modal koperasi desa serta modal BUMDES diduga penggelembungan (Mark up) harga pada pengadaan barang dan jasa.
7.Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya, ternyata lebih ditunjuk untuk pelesiran saja.
8.Pembangunan baru, rehabilitasi peningkatan dan pemeliharaan tidak sesuai dengan spek pengerjaannya, dikerjakan asal-asalan serta mengurangi volume pengerjaan pembangunan.
9.Dana posyandu desa diduga tidak terealisasi dengan baik.
10.Kurangnya pengawasan dari kecamatan dan kabupaten.
11.SPJ desa diduga kuat dikerjakan oleh pihak kabupaten untuk laporan ke kemensos.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), keberadaan dana desa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur fisik (seperti jalan), sarana ekonomi (seperti pasar), sarana sosial (seperti klinik), serta untuk meningkatkan kemampuan berusaha masyarakat desa. Tujuan akhirnya adalah mengurangi jumlah penduduk miskin, mengurangi kesenjangan antara kota dengan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Namun dalam perkembangannya, dana desa yang berlimpah tersebut ternyata rawan dari praktik korupsi.
Pendapatan desa yang dianggarkan dalam APBDes pada dasarnya merupakan perkiraan penerimaan desa yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan yang ada. Pendapatan desa meliputi 3 komponen utama yaitu: pendapatan asli desa, pendapatan transfer dan pendapatan lain-lain.
Dan Besarnya anggaran dana desa yang diterima dan dikelola oleh Pemerintah Desa harus menjadi perhatian berbagai pihak yang ada di desa untuk bersama-sama mengawasi dan mengelolanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku korupsi dana desa mayoritas dilakukan oleh Kepala Desa yang berdampak pada tidak optimalnya pelayanan publik yang ada di desa. Oleh sebab itu, maka perlu dilakukan pencegahan korupsi dana desa, dengan meningkatkan partisipasi masyarakat, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di desa.
Bung Wasito Deputi LSM Lapisan Pemantau Situasi Indonesia (LAPSI) Kabupaten Banyuasin menyebut upaya rasuah dalam penyaluran dana desa masih memprihatinkan. Padahal, dana itu diberikan pemerintah untuk memajukan desa.
Secara umum terdapat lima modus korupsi dana desa oleh pemerintah desa, yakni penggelembungan anggaran, adanya proyek fiktif, laporan fiktif, penggelapan dan penyalahgunaan anggaran. Modus ini biasa terjadi saat tahap perencanaan anggaran dan implementasi anggaran.
Faktor pertama penyebab rentannya korupsi dana desa karena lemahnya pengawasan institusi yang memiliki otoritas dalam pengawasan ditingkat desa. Perlu dipahami bahwa kinerja lembaga pengawas, seperti Inspektorat Kabupaten/Kota, BPKP, dan BPK belum optimal dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan audit pengelolaan anggaran desa. Hal itu karena terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan anggaran lembaga tersebut untuk mengawasi seluruh desa di Sumatera Selatan.
Kemudian kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan APBDes. Masyarakat hanya banyak dilibatkan dalam pelaksanaan, yang juga rentan praktik korupsi dan kolusi. Sedangkan pada tahap perencanaan masyarakat tidak dilibatkan secara substantive, melainkan semu, karena sebatas memenuhi syarat peraturan perundang-undangan, tanpa memberikan kontribusi partisipasi masyarakat dalam pencegahan korupsi dana desa.
Selanjutnya ketiga, rendahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Masih adanya pengaruh feodalisme di desa-desa, menyebabkan masyarakat memandang Kepala Desa memiliki kuasa mutlak dalam perencanaan, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. Perangkat Desa, Elit Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hanya sebagai kekuatan pendukung kepentingan Kepala Desa.
Dengan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan keuangan desa, dan besarnya pengaruh Kepala Desa, maka sulit untuk mencegah terjadinya korupsi di desa. Ketiga hal tersebut merupakan faktor penyebab rentannya terjadi korupsi dana desa di desa.
Pencegahan korupsi dana desa dapat dilakukan dengan 4 (empat) Langkah, yakni: pembuatan MoU masyarakat dan perangkat desa untuk komitmen membangun desa, pembentukan tim pengawas independen yang awasi jalannya pengelolaan dana desa, sumpah perangkat desa menggunakan kitab suci, dan sanksi yang tegas pelaku penyalahgunaan dana desa.
Upaya lain pencegahan korupsi dana desa yakni dengan pembentukan klinik desa yang berada di bawah Inspektorat Provinsi untuk mendeteksi dini adanya potensi penyalahgunaan dana desa. Selain itu langkah pencegahan korupsi dana desa bisa dengan cara mengenali modus-modus korupsi dana desa, peningkatan kapasitas Perangkat Desa dan Pendamping Desa. (Red)